12 Juli 2015

Kemiskinan

Jadi...sudah berhari-hari saya pergi, dari Bandung selama seminggu lebih kemudian ke Jakarta yang akan sampai tanggal 14 Juli nanti, pulang ikut mudik macet-macetan. Kalau kata mas, ya buat pengalaman merasakan macet-macetannya orang mudik. Akhirnya disinilah saya, sesudah di Bandung bertemu keponakan yang manis tapi gampang nangis padahal sudah naik kelas 4 dan satunya yang besok masuk TK tapi kelakuan hiperaktifnya tidak ketulungan. Huah! Diuji kesabaran saya selama di Bandung. Daaan sekarang bertemu 2 keponakan yang lain lagi yang manis-manis tapi 'menghanyutkan'.


Jadi sebenernya saya ini punya berapa keponakan? Banyak amat yah?
Tetapi sebentar, ada yang aneh dari perjalanan saya kali ini, sesaat saya sadar Tuhan memang telah merencanakan perjalanan ini untuk saya. Jadi selama saya melakukan perjalanan yang 80% lebih waktu juga dihabiskan buat guling-guling di rumah, tapi untungnya 20% lainnya bermanfaat. 
Apa yang saya dapatkan dari 20% itu? 
Banyak, banyak poinnya. Salah satunya yaitu pelajaran hidup yang sekali lagi harus selalu saya tekankan pada diri saya. 
Apa itu? 

Bersyukur
Oke tapi kali ini ngena banget.
Serasa ditampar berkali-kali.
Iya berkali-kali.
Dan saya juga baru menyadari suatu hal: kemiskinan di kota besar itu ternyata mencekik ya. 
Maksutnya mencekik? 

Iya mencekik, lebih mengerikan dibanding di desa. Seperti misalkan desa tempat saya tinggal, daerah Bantul. Kalau di desa yang notabenenya lahan masih luas dan mata pencaharian yang masih tergantung pada hasil Sumber Daya Alam sekitar, kemiskinan yang terjadi tidak semengerikan di kota. Makan tinggal petik sana petik sini, lahannya masih subur dan luas untuk menanam sayur serta bahan makanan lainnya. Selain itu, dengan budaya orang desa yang masih kental dengan gotong royong dan rasa welas asih kepada sekitarnya, banyak warga yang sudah terbiasa saling membantu jika ada kesulitan. Harga bahan makanan di desa juga sangat jauh berbeda daripada harga kota, tentunya lebih murah. Untuk pangan oke, untuk papan? Hmm di desa lahannya masih luas banget. Buat gubuk dari kayu dan bambu yang ada di sekitar masih bisa dan kalau pun tidak bisa pasti kemudian warga sekitar akan saling membantu sebisa mereka. Entah dipekerjakan untuk suatu pekerjaan atau malah langsung diberikan bantuan berupa uang. Untuk sandang? orang desa mah sederhana-sederhana, tidak neko-neko ya karena kehidupannya hanya disekitaran situ saja jadi semisal cuma diberi kaos kampanye saja udah seneng, dipakai terus setiap hari. Lingkungannya pun masih asri, air tanah masih lestari, tidak ada polusi, udara masih segar dan air masih bersih untuk dipakai, dan semua nikmat itu pun mudah untuk mengaksesnya. Buat sumur, ambil air, selesai. Intinya kalau di desa lingkungan sekitar masih mendukung untuk tetap bertahan hidup memenuhi kebutuhan primer manusia. Mungkin kalau di desa, yang masih sangat terbatas adalah pendidikannya, akses informasinya, daaaaan sinyalnya. Bagi saya ketiga hal itu juga termasuk kemiskinan. Penduduk yang jauh dari peradaban, jauh dari hingar bingar teknologi dan informasi suatu saat juga bisa sangat mencekik kehidupan masyarakatnya. Bagaimana tidak? Dunia yang sudah berjalan dengan sangat cepat seperti ini jika kita tidak mengikutinya bahkan melebihinya akan membuat kita terseleksi dari kehidupan. Apalagi sinyal, beeh mau seberapa canggih, seberapa banyak aplikasi, mau seberapa banyak paketanmu tapi kalau tidak ada sinyal?! Sama ajaaaaaa! :(  



Sangat jauh berbeda saat saya berada di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta dalam perjalanan saya. Seperti yang saya katakan di awal, kemiskinan di kota itu mencekik. Di kota lahannya sangat terbatas. Semua orang ingin tinggal di kota merasakan hingar bingar majunya teknologi, serta banyaknya fasilitas dan hiburan. Walaupun air tanah yang semakin menipis, macet, polusi dimana-mana tidak menghambat mereka untuk merantau kekota. Saat saya di Bandung, ada kejadian yang membuat saya merasa ditampar. Waktu itu pembantu kakak saya dan saya sedang membagi-bagikan sembako untuk yang membutuhkan di luar komplek rumah kakak saya. Kita mendatangi rumah-rumah mereka memberikan sembako tersebut. Kemudian kita mendatangi salah satu rusun tingkat yang kondisinya lumayan kumuh. Disitu terdapat salah satu teman dari keponakan saya, masih kecil, SD naik kelas 3, kemudian bu is (pembantu di rumah kakak saya) memanggil anak itu memberitahukan untuk datang ke rumah. Kemudian anak itu datang ke rumah, dengan wajah yang sedikit kusut, anak itu sangat berterima kasih dengan pemberian sembako tersebut.

"Haloo, namanya siapa?"
"Namaku Nisa(disamarkan)"
"Hanum, tantenya shafa. Temennya shafa ya di tempet ngaji?"
"Iyaa"
"Ibunya kemana kok ga ada tadi?"
"Kerja"
"Punya kakak ga?"
"Punya"
"Berapa? Dimana?"
"Satu, kerja juga"
"Ayah?"
"Udah meninggal"

Okee...Hening, selesai.

Setelah anak itu pergi, bu is cerita kalau ternyata dia baru saja menjadi anak yatim, masih kecil kelas 3 SD, kakaknya yang kerja tadi ternyata masih kelas 5 SD. Ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak tetap, sering ibunya keliling komplek untuk menawarkan diri bekerja, kalau-kalau ada yang butuh tenaganya mau dibayar berapapun. Beberapa hari sebelumnya kata bu is, sekeluarga itu hampir di usir karena tidak mampu membayar kontrakan di rusun yang tingkat tadi, yang kalau liat didalamnya hanya sekitar 4x4m atau 5x5m. Lalu kenapa tidak pulang kampung halaman dan kerja disana saja? Di kampung tinggal ada nenek, keluarga dari ayahnya juga miskin dan perantau, ibunya tidak punya saudara. Terus kalau masih tidak bisa bayar kontrakan mau tinggal dimana coba? Ya Allah...
Dan cerita seperti itu banyak tersebar di sekelilingmu hanum. Kemana aja?

Kemudian di Jakarta, saya menemukan cerita yang lebih menampar saya untuk tetap lebih bersemangat menjalani hidup.
Jadi ceritanya pembantu rumah tangga kakak saya yang satunya yang di Jakarta kan umurnya masih lebih muda sedikit dengan saya. Sewaktu itu..

"Mbak sekarang udah semester berapa?"
"Mau semester 5 mbak eheh"
"Aku besok juga masuk kuliah mbak" dengan wajah berseri-seri
"Ohiya mbak?! Wah baguss, alhamdulillah, dimana?"
"Di Universitas XXX, jurusan ekonomi, deket kok"
"Loh berarti berhenti kerja ya mbak?"
"Enggak mbak, kan deket, saya kuliahnya malam" 
"Ooooh..."




Jadi ternyata mbak mar itu kejar paket gitu, dulunya berhenti sekolahnya, terus karena dia masih semangat buat kuliah. Akhirnya ikut kejar paket, nah kata mas saya, oke tidak apa-apa akan di bantu asalkan tidak keluar kerjanya. Akhirnya dia milih kelas malam untuk kuliahnya. Jadi pagi siang malam kerja sebagai pembantu rumah tangga, kemudian malamnya kuliah.

Dan kamu masih sering mengeluhkan kehidupanmu? 
Yang serba enak itu? 
Kurang menghargai kehidupan? 
Kalau kamu sudah seenak itu jangan dong jadi polusi kehidupan. Berusahalah terus jadi solusi, masyarakat Indonesia yang membutuhkan bantuan masih banyak. Yang perlu diarahkan pikirannya, diarahkan pola hidupnya masih banyak. Dan kamu masih sibuk mengeluh dengan hal-hal sepele. 
Hargai waktu, hargai hidup, hargai kesempatan. Itu semua wujud dari rasa kebersyukuran.
Ingatkan selalu ya Allah..

3 komentar:

  1. Indah dan mengharukan sekali mbak :''
    Aku tunggu cerita-cerita lainnya ya mbaak

    BalasHapus
  2. Indah dan mengharukan sekali mbak :''
    Aku tunggu cerita-cerita lainnya ya mbaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih putri, blognya putri jg bagus2 isinya kusuka bacanyaa :''D

      Hapus